Senin, 08 September 2008

MENJADI KIAI TANPA GELAR KIAI (1)

Musim pilkada di Indonesia selalu memunculkan fenomena- fenomena logis dan tidak logis, berhamburannya materi dan berhamburannya immateri. Dan tak kalah serunya peran dunia metafisika, perangnya para ahli metafisika mulai dari ilmu hitam maupun ilmu putih, dukun, ajengan, kiai, resi bahkan terkadang orang gila dimintai berkahnya, orang gilapun masih bagus ada yang minta berkah dari batu, kuburan, sendang bahkan sesuatu yang menjijikkan juga dimintai berkahnya. Naik daunnya dunia para ahli metafisika secara kemasyarakatan bisa ditanggapi sebagai dua hal yang kontradiktif yakni naiknya keimanan seseorang pada yang gaib atau bisa juga adanya krisis kepercayaan dan keyakinan. Terlepas dari hal tersebut para ahli metafisik terutama dari kalangan agamawan hendaknya mampu memposisikan diri kembali pada citra ketokohan spriritualnya.
Dalam masyarakat Indonesia, figur seorang Kiai masih merupakan figur yang dihormati, disegani bahkan sering kali menjadi panutan dan rujukan. Dimasyarakat yang kental dengan kehidupan agamis Islami, tokoh – tokoh penyandang gelar kiai sering dianggap sebagai Nabi sendiri atau bahkan utusan Tuhan yang fatwanya tak boleh dibantah, apalagi sampai ditentang. Menentang fatwa kiai berarti berdosa atau setidak-tidaknya akan kualat. Sebenarnya apa sih kiai itu ?, banyak versi tentang kiai baik terminologi maupun muatan – muatan yang terkandung di dalamnya. Sampai sejauh ini banyak masyarakat kita cenderung memiliki persepsi kalau kiai mesti pemuka atau tokoh Islam, padahal tidak tokoh kristenisasi di Jawa Tengah khususnya karesidenan Kedu pernah ada seorang Kiai misionaris Kristen yang bergelar Kiai Sadrah, yang banyak berhasil menyiarkan agama. Untuk mengalahkan Aceh Belanda mengangkat dan membentuk Kiai Snock Horgrounye (salah gak ejaannya, maaf deh lupa – lupa ingat). Oleh karena itu kita jangan cepat terpana kalau kita mendengar atau melihat orang yang bergelar Kiai, bahkan ada orang yang mengatakan kalau kiai fulan itu setengah wali ( la setengahnya apa, jin ?, setan? Atau genderuwo he he he). Sebab kalau saya yakin kalau kiai yang benar – benar diridlai “Allah” pasti itu wali, tidak setengah lagi, Cuma yang benar – benar kiai itu yang bagaimana?, sebaiknya mari kita kaji. Nah sebelum ke itu mari kita kenal dulu berbagai macam pernak – pernik sebutan “ K I A I”.
Ada satu cerita, Menurut cerita otak – atik gathuk, Kiai itu dari bahasa Cina, asalnya dari kata “Kia “ yang artinya jalan – jalan, yaitu orang yang berjalan – jalan untuk menyebarkan dan mengajarkan tentang kebajikan, agama dan lain – lainnya yang bersifat propaganda untuk mengikuti salah satu aliran atau agama tertentu. Sesampai di Jawa terminologi itu diucapkan menjadi “Kiai” yaitu orang – orang yang berjalan dan menyebarkan agama serta memberi penerangan tentang kebajikan. Pada awal mulanya kegiatan ini dipandang biasa saja, tetapi lama – lama Tokoh kiai yang berkeliling menyebarkan dakwahnya memiliki apreasiasi tersendiri, karena selain mereka mampu berpropaganda ternyata memang memiliki keahlian lain yang bisa dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat, misalnya kemampuan menyembuhkan penyakit, memiliki kesaktian dan dapat membuat berbagai keajaiban. Dengan Sejumlah kemampuan yang diluar kemampuan masyarakat waktu itu maka Kiai menjadi unsur yang disegani, dihormati dan sekaligus di kasihi.
Orang Jawa pandai memanipulasi dan mengasimilasi maupun mengakulturasikan bahkan menganalogkan. Kata Kiai tidak lagi hanya untuk orang – orang yang mendakwahkan agama saja, tetapi karena orang yang tua dan disegani juga mendapatkan gelar Kiai, orang yang memiliki keahlian mendapat gelar Kiai, orang yang memiliki kesaktian dianggap Kiai, bahkan sampai demikian jauhnya segala sesuatu yang punya keramat dan daya magis disebut Kiai.
Maka jangan heran kalau ada senjata atau apa saja juga mendapatkan sebutan Kiai, misal saja Gong (gamelan) mendapat gelar Kiai Slamet, Keris sakti bergelar Kiai Sengkelat, Kerbau bergelar Kiai Slamet dan lain sebagainya.
Yang kemudian perlu dan pantas di herani adalah tadinya benda mengikuti manusia sekarang menjadi terbalik, maksudnya seorang kiai mengikuti dari perilaku benda yang di kiaikan.
Gong yang bergelar Kiai slamet itu tidak mau berbunyi kalau tidak mendapat sesaji, walaupun dipukul sekeras apapun, tetapi manakala sesaji sudah disediakan komplit maka pukulan yang tanpa tenagapun akan memberikan dengung suara yang mengenakkan telinga, nah kiai penyebar fatwa dan dakwah juga banyak yang tidak berbunyi jika panggilan untuk berdakwah tanpa ada sesaji yang komplit.
Untuk Kiai sengkelat ini banyak juga yakni lebih menyukai tajamnya dan tuahnya keris, sehingga banyak kiai yang memiliki persoalan tidak lagi kembali ke Khithah Islaminya yakni “ Musyawarah” dalam menghadapi persoalan tetapi lebih banyak menggunakan senjata yang dimiliki untuk memecahkan masalah yaitu dengan lebih banyak menggunakan massanya, kalau perlu dengan pertempuran antar massa.
Lain lagi dengan Kiai Slamet sang Kerbau, habis kalau kerbau itu kan tidak memiliki tata krama makanya tidak pernah pakai celana ( kalau pakai clana bukan kerbau kali ya), buang kotoran sembarangan suka makan rumput yang muda – muda, hal ini digunakan sebagai ikon oleh kiai yang berfilosofi kerbau suka makan daun – daun muda dan celananya pasti kendor (atau malah gak pakai celana kali) nah mau gimana lagi dunia kekiaian kita kalau begini ?.
Yang lebih seru lagi di Jawa Tengah muncul istilah kiai “sak iki” ( arti sesungguhnya sekarang), dimana kalau sak (saku) nya tidak di isi ya tidak mau memberikan fatwa, tapi kalau “sak”nya udah di isi mau berapa haripun di ladeni he he he. Kiai ini juga sering dijuluki kiai amplop, tanpa amplop nggak bisa jalan. Tapi kalau saya sebagai kiai saya nggak mau terima amplop meskipun besarnya seberapapun bagi saya yang penting isinya he he he. (sama juga bo ong lu).
Nah kalau kiai dan pemuka agama punya prinsip kiai seperti itu, aku jadi teringat akan ujar para leluhur yang mengatakan :
“ Ana jaman Resi ora isa nyawiji,
Pastur ora isa paring pitutur,
Pandita ora bisa nata,
Kiai ora bisa ngandani, “
Lah – lah kalau sudah begini terus bagaimana kehidupan ini nanti, jangan khawatir Allah masih mencintai kita pasti ada Kiai yang masih pantas dan harus kita ikuti.
“ Allah tidak akan pernah kekurangan wali – walinya di bumi “


Kenapa banyak orang ingin menjadi Kiai ?
Bagaimana tidak ingin?. jika hanya dengan ngoceh dan duduk – duduk di rumah kebutuhan keluarga tercukupi, bahkan seringkali berlebihan, istri bisa lebih dari satu, setiap orang yang ketemu cium tangan, bahkan seringkali dahaknya yang sudah kehijau – hijauan ditampung orang sebagai jimat (ha ha ha).
Bagaimana tidak ingin?,jika dengan gratis bisa memarahi orang tanpa rasa bersalah, tanpa jabatan struktural dan fungsional bisa duduk bersama atau bahkan lebih tinggi dengan para pejabat, tanpa harus menggaji memiliki pendukung bahkan laskar, tanpa perlu menjadi hakim bisa mengadili, tanpa harus jadi jaksa bisa menuntut, dan tanpa harus bertanggung jawab pada pembangunan bisa memungut pajak (ha ha ha)
Bagaimana tidak ingin ?, jika boleh praktik pengobatan tanpa harus kena pasal malpraktek, jika boleh mengajukan anggaran ritual tanpa pertanggungjawaban laporan keuangan, jika boleh beristri lebih dari satu tanpa kena pasal poligami aturan pemerintah (ha ha ha ha).
Tapi tentunya itu semua adalah pandangan ekstrim yang memiliki orientasi pada duniawi, sebab banyak juga yang bercita – cita menjadi kiai karena pandangan yang lebih baik menurut kacamata syariat dan agama, misalnya ingin memperbaiki kualitas masyarakat sekitar, ingin lebih bisa menyampaikan pesan – pesan agama yang benar, dan yang paling utama adalah untuk mendekatkan diri kepada ilahi Robbi dan memperoleh ridlonya.
Nah oleh karena itu sebenarnya Kiai atau bukan kita tidak perlu risau dan berkeinginan untuk menjadi kiai, karena yang berhak mengeluarkan Surat Keputusan di angkat sebagai Kiai itu hanya Allah, untuk mengenalinya kita hanya diberi petunjuk tentang ciri – cirinya yaitu :
1. Qonaah
2. Zuhud
3. wira’i
4. Selalu mohon ampunan Allah
5. Memuliakan waktu malam
6. Senang berkumpul dengan orang fakir.
7. Istiqomah

Tetapi dalam plesetannya Kiai Dul Al Jipari bahwa menjadi bisa disebabkan oleh tiga hal yaitu : Nasab, Nasib, dan Nusub.
Kiai Nasab yaitu menjadi kiai karena memang keturunan keluarga kiai, kalau jadi kiai maka dia sebagi Kiai Nasab.
Untuk Kiai nasib bisa saja membawanya menjadi kiai, karena tinggal di lingkungan yang mana tidak ada orang yang lebih mengetahui tentang agama atau tidak ada orang yang mau tampil meskipun mereka paham dan hanya sendiri yang mau tampil dan lebih mengetahui maka dia akan menjadi kiai karena lingkungan membawanya bernasib untuk tampil sebagai kiai, Kiai seperti ini dikenal sebagai Kiai Nasib.
Sedangkan yang ketiga kiai Nusub (menyusup bhs Ind) yaitu orang biasa yang menjadi keluarga kiai lebih – lebih sebagai menantu, atau bisa juga karena banyak bergaul dengan kiai dan berpura – pura seolah – olah golongan kiai he he he, dan akan mendapat julukan kiai Nusub.

Tidak ada komentar: